Bakaua Adat Tradisinya Rang Sijunjuang
KABUPATEN Sijunjung selain memiliki keindahan alam dengan panorama alam kawasan Musiduga (Muaro, Silokek, dan Durian Gadang), ternyata juga memiliki beragam khas budaya yang tersebar disetiap nagari.Baca Selengkapnya
Penyambutan Mahasiswa Baru Sijunjung di Universitas Andalas Padang Tahun 2009
Acara tahunan ini dilaksanakan oleh ISMASI (Ikatan Mahasiswa Sijunjung) Unand untuk menyambut mahasiswa baru Sijunjung dalam rangka memperkenalkan organisasi daerah yang ada di Universitas Andalas yang diharapkan mereka nantinya bisa berpartisipasi memberikan ide dan atau pendapat untuk memajukan Kabupaten Sijunjung. BACA SELENGKAPNYA
Tempat-tempat Wisata Sijunjung
Air terjun (waterfall) ini terletak lebih kurang 1 Km dari Pasir Putih. Untuk pergi ke tempat pariwisata ini harus ditempuh dengan jalan kaki. Jarak yang akan di tempuh yaitu lebih kurang 1 Km.
Tidak Ada Kata Terlambat Untuk Bertaubat
Ada ketenangan yang terpancar di wajahnya. Memberi rasa tentram di hati bagi siapapun yang melihatnya. Ia tampak lebih teduh dan mudah tersenyum saat ini. Jauh berbeda dengan dulu, yang suka menampakkan wajah kusam, penuh masalah, dan terkadang cepat emosi. BACA SELENGKAPNYA
Minggu, 20 Januari 2013
12 Rabiul Awal; Lahir atau Wafatnya Nabi?
Walaupun tidak mempunyai pijakan historis yang pasti, selalu saja kebanyakan umat Islam memperingati—bahkan ada yang merayakan—apa yang mereka sebut sebagai Maulid Nabi. Maulid Nabi yang rutin diperingati setiap tanggal 12 Rabiul Awal diyakini sebagai hari lahirnya Nabi akhir zaman, Muhammad. Kelahiran Nabi merupakan rahmat agung untuk alam semesta dan sudah semestinya nikmat tersebut disyukuri dengan menampakkan kegembiraan. Di zaman ini, peringatan Maulid Nabi tersebut disemarakkan dengan berbagai macam acara mulai dari ceramah, pertunjukkan seni hingga beragam perlombaan.
Tanpa perlu mengulang berbagai penjelasan panjang lebar dari perbedaan para pakar tentang kapan bulan dan tanggal pasti lahirnya Nabi, tak ada salahnya bila dikutip penjabaran Abdullah bin Abdul Aziz Al-Jibrin dalam Tahdziib Tashiil Al-‘Aqiidah Al-Islaamiyyah ketika menyinggung tentang Maulid Nabi bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat dijadikan pegangan dalam penentuan dengan pasti tentang kapan bulan lahir Nabi, dan tidak pula tentang hari lahirnya, bahkan dalam hal ini ada perbedaan yang tajam.
Pada catatan kaki pembahasan ini, Abdullah bin Abdul Aziz Al-Jibrin menambahkan rincian perbedaan pendapat tersebut bahwa ada yang mengatakan Nabi lahir pada bulan Ramadan, ada pula yang berpendapat Nabi dilahirkan di bulan Rajab, dan juga yang menyatakan Nabi pada bulan Rabiul Awal. Orang-orang yang menyatakan Nabi lahir pada bulan Rabiul Awal sendiri pun berselisih tentang bilangan hari kelahiran Nabi, sebagaian mengatakan pada hari tanggal 2, sedang yang lain mengatakan pada tanggal 8. Begitu pula ada yang mengatakan pada tanggal 10 dan ada yang mengatakan pada tanggal 12. Tapi ada juga yang berpendapat pada tanggal 17 serta pendapat lain pada tanggal 21. Padahal tidak ada satu dalilpun yang dapat dijadikan pegangan dalam hal tersebut.
Tetapi belakangan ini ada beberapa pendapat yang memastikan bulan dan tanggal lahir Nabi. Seperi yang direkam oleh Shafiyyurrahaman Al-Mubarakfuri dalam Ar-Rahiiq Al-Makhtuum bahwa penghulu para rasul dilahirkan pada hari Senin tanggal 9 bulan Rabiul Awal tahun Gajah atau bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 April 571 Masehi, sesuai dengan perhitungan ilmuan besar Muhammad Sulaiman Al-Manshurfuri dan ahli falak Mahmud Basya. Hal ini juga diamini oleh Abdullah bin Ibrahim bin Muhammad As-Sulaim dalam Taqwim Al-Azmaan fiy Tahqiiq Maulid An-Nabiy dan Shalih Al-Utsaimin dalam Al-Qaul Al-Mufiid ‘Alaa Kitaab At-Tauhiid.
Meskipun demikian, yang jelas Nabi sendiri tidak pernah memperingati ataupun merayakan hari kelahirannya. Baik semasa hidupnya ataupun sesudah wafatnya dengan mewasiatkan kepada para sahabat untuk melakukan kegiatan mengenang, memperingati, atau merayakan hari kelahiranya. Oleh karena itulah, kegiatan-kegiatan in memorian atau sejenisnya tentang Nabi tidak pernah dilakukan oleh para sahabat yang sangat besar cinta, pengorbanan, dan ketulusan mereka terhadap Nabi. Begitu pula yang dilanjutkan oleh generasi tabiin dan generasi tabiut tabiin sebagai representasi dari tiga masa terbaik sesuai isyarat Nabi.
Hingga, barulah pada abad ke-4 Hijriah, sekte Ubaidiyah (Syiah) yang pertama-tama merayakan Maulid Nabi, tepatnya tahun 363 Hijriah, ketika mereka memerintah Mesir. Walaupun Suyuthi dalam Husn Al-Maqshad, yang diukuti oleh sebagian ulama kontemporer, berpendapat bahwa yang pertama kali melakukan Maulid Nabi adalah Sultan Kaukabari Al-Ayyubi yang wafat tahun 630 Hijriah. Ini adalah kekeliruan karena Maulid Nabi telah dilakukan sebelum masa Sultan tersebut. (lihat Tahdziib Tashiil Al-‘Aqiidah Al-Islaamiyyah hal. 199-200)
Yusuf Al-Qaradhawi dalam Fiqh Al-Aulaawiyyaat saat menjelaskan tentang takaran prioritas yang benar dalam memberikan perhatian terhadap tema-tema yang diangkat di dalam Alquran menegaskan bahwa Maulid Nabi sama sekali tidak dibicarakan oleh Alquran. Hal ini menunjukkan bahwa perkara tersebut tidak begitu penting dalam kehidupan Islam, karena hal ini tidak berkaitan dengan mukjizat sebagaimana keterkaitan kelahiran Al-Masih terhadap ajaran agamanya. Maulid juga tidak berkaitan dengan amalan dan ibadah yang harus dilakukan oleh kaum muslimin atau sesuatu yang dianjurkan.
Memang benar, kelahiran Nabi bukanlah mukjizat ataupun kejadian besar seperti kelahiran ajaib Al-Masih yang tanpa seorang ayah. Adapun tentang runtuhnya sepuluh balkon istana Kisra, padamnya api yang biasa disembah oleh orang-orang Majusi, dan runtuhnya beberapa gereja di sekitar Buhairah ketika Nabi lahir merupakan riwayat dari Thabrani dan Baihaqi dan selain keduanya tidak pula dapat dijadikan pegangan karena sanad-sanad periwayatannya tidak kuat. (Lihat Ar-Rahiiq Al-Makhtuum hal. 65)
Begitu pula mengkhususkan ibadah-ibadah tertentu seperti salat, puasa, sedekah, zikir, dan sebagainya ketika Maulid Nabi merupakan sesuatu yang tidak berdasar. Atau mengisi Maulid Nabi dengan mendendangkan selawat-selawat khusus yang berlebih-lebihan dalam memuji Nabi, serta membacakan kisah kehidupan Nabi dengan keyakinan bahwa arwah Nabi hadir dalam acara sedemikin jelas-jelas kejahilan terhadap sunah Nabi. Hal-hal itulah yang melatarbelakangi pembidahan sebagian ulama tentang hukum peringatan Maulid Nabi. Hal ini penting dicatat bagi mereka yang mengutip pendapat ulama yang memandang Maulid Nabi sebagai bidah karena ibadah-ibadah khusus tersebut yang dilakukan saat Maulid Nabi, bukan peringatan Maulid Nabi itu sendiri.
Selain itu, memperingati kelahiran Nabi menyerupai tradisi kaum Nasrani yang memperingati dan merayakan Natal yang dipercayai sebagai hari kelahiran Al-Masih. Umat Nasrani menjadikan Natal tersebut sebagai ibadah yang tentu saja kaum muslimin dilarang menyerupai dan meniru-niru tradisi agama lain yang mengandung unsur peribadatan. Nabi besabda, "Sesiapa yang meniru suatu kaum (dalam hal-hal yang menjadi ciri khas kaum tersebut) maka dia termasuk dari kaum (yang ditirunya) itu.”
Akan tetapi, ketika Rabiul Awal diisi dengan berbagai kegiatan penuh keriangan dengan dalih bergembira atas nikmat Allah bahwa inilah bulan kelahiran Nabi, maka sadar ataupun tidak orang-orang tersebut lupa bahwa di bulan ini pulalah Nabi meninggal dunia. Jika sebelumnya telah disebutkan ada banyak pendapat tentang di bulan apa Nabi dilahirkan, tidak demikian dengan di bulan apa Nabi wafat berdasarkan keterangan dari Shafiyyurrahaman Al-Mubarakfuri dan Abdullah bin Abdul Aziz Al-Jibrin. Tidak tanggung-tanggung, Abdullah bin Abdul Aziz Al-Jibrin menegaskan tidak ada perbedaan pendapat tentang hal ini.
Wafatnya Nabi merupakan musibah terbesar bagi kaum muslimin. Seperti dalam hadis dari beberapa redaksi riwayat yang berbeda, namun dengan makna yang sama. Di antaranya riwayat dari Ibnu Abbas dan Sabith Al-Jumahi, mereka berkata, ‘Rasulullah bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian ditimpa musibah, hendaklah ia mengingat musibahnya itu dengan (kematian) ku, karena (kematianku) itu adalah musibah terbesar.”’ (H.R Ath-Thabrani, Ibnu Sa’d, Ad-Darimi, Malik dan lainnya, sebagaimana tercantum dalam Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah, hadis nomor 1106)
Husain bin Audah Al-Awayisah dalam Mushiibah Mautin Nabiy Wa Atsaaruhaa fiy Hayaah Al-Ummah menafsirkan hadis tersebut dengan mengatakan bahwa dari hadis tersebut jelaslah bagi kita kematian Nabi merupakan musibah terbesar yang telah menimpa dan tetap akan menimpa kaum muslimin. Rasul sendiri memerintahkan kita untuk mengingat musibah kematiannya sehingga dengan hal itu musibah-musibah yang menimpa kita akan terasa ringan. Sebelumnya, masih dalam tulisan yang sama Husain bin Audah Al-Awayisah berpendapat bahwa wajib bagi kita untuk menadaburi dampak wafatnya Nabi terhadap pribadi dan umatnya.
Lalu bagaimana bisa Rabiul Awal diperingati dengan semarak dan suka ria sedangkan musibah terbesar terjadi di bulan itu? Faktanya, berbagai kegiatan yang diselenggarakan dalam rangka memperingati Maulid Nabi tak lebih dari seremonial belaka. Beragam agenda terjadwal memeriahkan bulan dan hari lahir penutup para Nabi dan Rasul itu telah kehilangan ruh dan substansi peringatan itu sendiri. Padahal peringatan itu semestinya dijadikan sebagai momentum untuk mengenang kembali sosok yang diperingati. Ya, mengenal kembali sosok Muhammad, teladan sempurna sepanjang zaman. Mengenang untuk kemudian mencontoh keagungan pribadinya yang dipuji kawan dan diakui lawan. Karena itu sangat tidak pantas bila tokoh seagung Muhammad dimaknai sebatas seremonial yang kering makna dan agenda sekali setahun saja.
Di luar wacana memperingati dan merayakan Maulid Nabi atau berduka atas wafatnya, sudah seharusnya kaum muslimin yang mengaku sebagai pengikut Muhammad menggali sejarah kehidupannya, ajaran-ajaran luhurnya, dan medakwahkan risalahnya. Sudahkah menamatkan membaca kitab kumpulan hadis sahih yang dikumpulkan oleh Imam Bukhari dan Muslim sebagai dua referensi terpercaya tentang peri kehidupan Nabi? Telahkah ditelusuri segala sesuatu tentang Muhammad dalam kitab kitab hadis muktabar lainnya seperti kitab sunan yang empat karya Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Nasa’i? Atau paling tidak pernahkah melahap dengan tuntas buku-buku sirah nabawiah mulai dari yang tebal dan detil hingga yang tipis dan ringan?
Allah berfirman, “Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah suri teladan yang baik bagi orang yang berharap kepada Allah, hari akhir, dan bagi orang yang banyak mengingat Allah.” (Q.S Al-Ahzab [33]: 21) Nabi bersabda, “Tidaklah beriman seseorang di antara kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada anaknya, ayahnya (orang tua), dan manusia seluruhnya.” (H.R Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Sumber : http://www.facebook.com/notes/wahid-munfarid/12-rabiul-awal-lahir-atau-wafatnya-nabi/297703686946012 atau
http://harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=12409:12-rabiul-awallahir-atau-wafatnya-nabi&catid=11:opini&Itemid=83
Kamis, 10 Januari 2013
Cara Untuk Mencari Perpangkatan dan Pengakaran di Ms Excel
Jumat, 04 Januari 2013
Ilmu Yang Wajib Dituntut
Yang perlu dikaji dengan benar adalah bagaimana kewajiban menuntut ilmu itu. Sangat bagus dalam hal ini apa yang telah didiskusikan dengan gamblang oleh Yusuf Al-Qaradhawi dalam Fii Ath-Thariiq ilaa-llaah, Al-Hayaah Ar-Rabbaaniyyah wa Al-‘Ilm. Al-Qaradhawi mengutip hadis masyhur yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya, “Mencari ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.” Adapun yang dimaksud muslim dalam hadis ini ialah orang Islam, baik laki-laki maupun perempuan. Karena itu mereka (para ulama) telah bersepakat bahwa hadis ini mencakup setiap muslim, laki-laki maupun perempuan, sekalipun dalam periwayatan hadis itu tidak ada redaksi “muslimah.”
Para pensyarah hadis berbeda pendapat mengenai batasan ilmu yang wajib dicari. Karena setiap ahli yang mempunyai kafa’ah (kemampuan) dalam bidang ilmu tertentu, pasti ia berusaha menginterpretasikan ilmu yang dimaksud (dalam hadis itu) kepada ilmu yang sedang digelutinya dan dikuasainya.
Seorang ahli teologi mengatakan, “Yang dimaksud ilmu dalam hadis tersebut ialah ilmu akidah yang mempelajari keesaan Allah, keimanan kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir.”
Seorang pakar fikih berkata, “Yang dimaksud ilmu dalam hadis itu ialah ilmu fikih yang dengannya dapat diketahui yang halal dan yang haram. Juga dapat diketahui keabsahan ibadah dan kelurusan muamalah.”
Seorang pakar tafsir pun mengatakan, “Yang dimaksud ilmu ialah tafsir Alquran karena ia merupakan asas agama sekaligus referensi umat.
Pakar hadis mengatakan, “Ilmu yang dimaksud ialah ilmu hadis yang berfungsi sebagai penjelas Alquran dan penggambaran secara konkret terhadap sirah (riwayat hidup) Rasulullah, perkataan, perbuatan, dan ketetapan beliau.”
Ahli tasawuf berkata, “Ilmu yang dimaksud ialah ilmu yang dapat mengantarkan jalan menuju (kebahagiaan) akhirat, menempuh jalan menuju Allah, cara menyucikan jiwa, kiat mengatasi pintu-pintu masuk setan kepadanya…”
Pakar usul fikih berkata, “Ilmu yang dimaksud ialah ilmu usul fikih yang dengannya dapat diketahui pengambilan dalil terhadap sesuatu yang dinaskan (ada nasnya) dan peng-istimbath-an (penetapan) hukum terhadap sesuatu yang tidak dinaskan.”
Selain itu masih ada yang berpendapat bahwa ilmu yang dimaksud adalah ilmu bahasa Arab, seperti nahu, saraf, dan balaghah karena ilmu tersebut sebagai alat untuk memahami Alquran dan sunah.
Kemudian Al-Qaradhawi menyimpulkan—dengan merangkum tujuh pendapat di atas dan memberikan penjelasan bernas—bahwa ilmu yang wajib dituntut oleh seorang muslim itu adalah ilmu syar’i atau ilmu agama (tanpa bermaksud mengotak-kotakkan ilmu--penj). Dia berkata bahwa yang terpenting adalah hendaknya seorang muslim dengan pengetahuan-pengetahuan (ilmu agama)nya itu sampai pada suatu batas yang ia mampu dengannya menimbang pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaannya, perkataan-perkataannya dan aktivitas-aktivitasnya, adat istiadat-adat istiadatnya, dan semua urusannya berdasarkan timbangan syar’i.
Selain itu, ia mampu dengannya memutuskan orang perorang, jamaah perjamaah, dan sikap-sikap politik berdasarkan hukum Islam. Ia mampu dengannya berangkat dari titik tolak Islam, jauh dari sikap berlebih-lebihan dan mengabaikan. Karena itu, atas dasar Islam, ia memuji dan mencela. Karena Islam pula ia rela dan marah, ia menyambung hubungan kekeluargaan (silaturahim) dan ia memutusnya, ia berdamai dan ia berperang. Apa yang disetujui oleh syarak, ia pun menyetujuinya dan apa yang ditolak syarak, ia pun menolaknya tanpa rasa kecewa dan menyesal atasnya.
Sebagaimana firman Allah, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Q.S Al-Ahzab [33]: 36)
Teranglah bagi kita dari penjelasan tersebut—dalam bahasa yang mudah dimengerti dan ini merupakan ciri khas Al-Qaradhawi—ilmu manakah yang memang merupakan kewajiban, yang mau tidak mau harus dipelajari oleh siapapun yang mengaku muslim. Yaitu ilmu bahasa Arab, ilmu Alquran, ilmu Sunah, ilmu Akidah, ilmu Fikih dan Usul Fikih, serta ilmu Akhlak yang kita istilahkan dengan Tujuh Dasar Keilmuan Islam.
Sumber : https://www.facebook.com/note.php?note_id=115906285125754 (Postingan Tgl 21/02/1434 04/01/2013 Pukul 19:19 WIB )