Berhubung tanggal 24 Januari 2013 (12 Rabiul Awal 1434) besok merupakan hari peringatan Maulid Nabi, tulisan ini sengaja di muat untuk menambah atau memperbaiki pengetahuan kita seputar tanggal tersebut. Semoga bermanfaat aamiin.
Walaupun tidak mempunyai pijakan historis yang pasti, selalu
saja kebanyakan umat Islam memperingati—bahkan ada yang merayakan—apa
yang mereka sebut sebagai Maulid Nabi. Maulid Nabi yang rutin
diperingati setiap tanggal 12 Rabiul Awal diyakini sebagai hari lahirnya
Nabi akhir zaman, Muhammad. Kelahiran Nabi merupakan rahmat agung untuk
alam semesta dan sudah semestinya nikmat tersebut disyukuri dengan
menampakkan kegembiraan. Di zaman ini, peringatan Maulid Nabi tersebut
disemarakkan dengan berbagai macam acara mulai dari ceramah,
pertunjukkan seni hingga beragam perlombaan.
Tanpa perlu mengulang berbagai penjelasan panjang lebar dari
perbedaan para pakar tentang kapan bulan dan tanggal pasti lahirnya
Nabi, tak ada salahnya bila dikutip penjabaran Abdullah bin Abdul Aziz
Al-Jibrin dalam Tahdziib Tashiil Al-‘Aqiidah Al-Islaamiyyah
ketika menyinggung tentang Maulid Nabi bahwa tidak ada sesuatu pun yang
dapat dijadikan pegangan dalam penentuan dengan pasti tentang kapan
bulan lahir Nabi, dan tidak pula tentang hari lahirnya, bahkan dalam hal
ini ada perbedaan yang tajam.
Pada catatan kaki pembahasan ini, Abdullah bin Abdul Aziz Al-Jibrin
menambahkan rincian perbedaan pendapat tersebut bahwa ada yang
mengatakan Nabi lahir pada bulan Ramadan, ada pula yang berpendapat Nabi
dilahirkan di bulan Rajab, dan juga yang menyatakan Nabi pada bulan
Rabiul Awal. Orang-orang yang menyatakan Nabi lahir pada bulan Rabiul
Awal sendiri pun berselisih tentang bilangan hari kelahiran Nabi,
sebagaian mengatakan pada hari tanggal 2, sedang yang lain mengatakan
pada tanggal 8. Begitu pula ada yang mengatakan pada tanggal 10 dan ada
yang mengatakan pada tanggal 12. Tapi ada juga yang berpendapat pada
tanggal 17 serta pendapat lain pada tanggal 21. Padahal tidak ada satu
dalilpun yang dapat dijadikan pegangan dalam hal tersebut.
Tetapi belakangan ini ada beberapa pendapat yang memastikan bulan dan
tanggal lahir Nabi. Seperi yang direkam oleh Shafiyyurrahaman
Al-Mubarakfuri dalam Ar-Rahiiq Al-Makhtuum
bahwa penghulu para rasul dilahirkan pada hari Senin tanggal 9 bulan
Rabiul Awal tahun Gajah atau bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 April
571 Masehi, sesuai dengan perhitungan ilmuan besar Muhammad Sulaiman
Al-Manshurfuri dan ahli falak Mahmud Basya. Hal ini juga diamini oleh
Abdullah bin Ibrahim bin Muhammad As-Sulaim dalam Taqwim Al-Azmaan fiy Tahqiiq Maulid An-Nabiy dan Shalih Al-Utsaimin dalam Al-Qaul Al-Mufiid ‘Alaa Kitaab At-Tauhiid.
Meskipun demikian, yang jelas Nabi sendiri tidak pernah memperingati
ataupun merayakan hari kelahirannya. Baik semasa hidupnya ataupun
sesudah wafatnya dengan mewasiatkan kepada para sahabat untuk melakukan
kegiatan mengenang, memperingati, atau merayakan hari kelahiranya. Oleh
karena itulah, kegiatan-kegiatan in memorian atau sejenisnya
tentang Nabi tidak pernah dilakukan oleh para sahabat yang sangat besar
cinta, pengorbanan, dan ketulusan mereka terhadap Nabi. Begitu pula yang
dilanjutkan oleh generasi tabiin dan generasi tabiut tabiin sebagai representasi dari tiga masa terbaik sesuai isyarat Nabi.
Hingga, barulah pada abad ke-4 Hijriah, sekte Ubaidiyah (Syiah) yang
pertama-tama merayakan Maulid Nabi, tepatnya tahun 363 Hijriah, ketika
mereka memerintah Mesir. Walaupun Suyuthi dalam Husn Al-Maqshad,
yang diukuti oleh sebagian ulama kontemporer, berpendapat bahwa yang
pertama kali melakukan Maulid Nabi adalah Sultan Kaukabari Al-Ayyubi
yang wafat tahun 630 Hijriah. Ini adalah kekeliruan karena Maulid Nabi
telah dilakukan sebelum masa Sultan tersebut. (lihat Tahdziib Tashiil Al-‘Aqiidah Al-Islaamiyyah hal. 199-200)
Yusuf Al-Qaradhawi dalam Fiqh Al-Aulaawiyyaat saat
menjelaskan tentang takaran prioritas yang benar dalam memberikan
perhatian terhadap tema-tema yang diangkat di dalam Alquran menegaskan
bahwa Maulid Nabi sama sekali tidak dibicarakan oleh Alquran. Hal ini
menunjukkan bahwa perkara tersebut tidak begitu penting dalam kehidupan
Islam, karena hal ini tidak berkaitan dengan mukjizat sebagaimana
keterkaitan kelahiran Al-Masih terhadap ajaran agamanya. Maulid juga
tidak berkaitan dengan amalan dan ibadah yang harus dilakukan oleh kaum
muslimin atau sesuatu yang dianjurkan.
Memang benar, kelahiran Nabi bukanlah mukjizat ataupun kejadian besar
seperti kelahiran ajaib Al-Masih yang tanpa seorang ayah. Adapun
tentang runtuhnya sepuluh balkon istana Kisra, padamnya api yang biasa
disembah oleh orang-orang Majusi, dan runtuhnya beberapa gereja di
sekitar Buhairah ketika Nabi lahir merupakan riwayat dari Thabrani dan
Baihaqi dan selain keduanya tidak pula dapat dijadikan pegangan karena
sanad-sanad periwayatannya tidak kuat. (Lihat Ar-Rahiiq Al-Makhtuum hal. 65)
Begitu pula mengkhususkan ibadah-ibadah tertentu seperti salat,
puasa, sedekah, zikir, dan sebagainya ketika Maulid Nabi merupakan
sesuatu yang tidak berdasar. Atau mengisi Maulid Nabi dengan
mendendangkan selawat-selawat khusus yang berlebih-lebihan dalam memuji
Nabi, serta membacakan kisah kehidupan Nabi dengan keyakinan bahwa arwah
Nabi hadir dalam acara sedemikin jelas-jelas kejahilan terhadap sunah
Nabi. Hal-hal itulah yang melatarbelakangi pembidahan sebagian
ulama tentang hukum peringatan Maulid Nabi. Hal ini penting dicatat bagi
mereka yang mengutip pendapat ulama yang memandang Maulid Nabi sebagai
bidah karena ibadah-ibadah khusus tersebut yang dilakukan saat Maulid
Nabi, bukan peringatan Maulid Nabi itu sendiri.
Selain itu, memperingati kelahiran Nabi menyerupai tradisi kaum
Nasrani yang memperingati dan merayakan Natal yang dipercayai sebagai
hari kelahiran Al-Masih. Umat Nasrani menjadikan Natal tersebut sebagai
ibadah yang tentu saja kaum muslimin dilarang menyerupai dan meniru-niru
tradisi agama lain yang mengandung unsur peribadatan. Nabi besabda, "Sesiapa
yang meniru suatu kaum (dalam hal-hal yang menjadi ciri khas kaum
tersebut) maka dia termasuk dari kaum (yang ditirunya) itu.”
Akan tetapi, ketika Rabiul Awal diisi dengan berbagai
kegiatan penuh keriangan dengan dalih bergembira atas nikmat Allah bahwa
inilah bulan kelahiran Nabi, maka sadar ataupun tidak orang-orang
tersebut lupa bahwa di bulan ini pulalah Nabi meninggal dunia. Jika
sebelumnya telah disebutkan ada banyak pendapat tentang di bulan apa
Nabi dilahirkan, tidak demikian dengan di bulan apa Nabi wafat
berdasarkan keterangan dari Shafiyyurrahaman Al-Mubarakfuri dan Abdullah
bin Abdul Aziz Al-Jibrin. Tidak tanggung-tanggung, Abdullah bin Abdul
Aziz Al-Jibrin menegaskan tidak ada perbedaan pendapat tentang hal ini.
Wafatnya Nabi merupakan musibah terbesar bagi kaum muslimin. Seperti
dalam hadis dari beberapa redaksi riwayat yang berbeda, namun dengan
makna yang sama. Di antaranya riwayat dari Ibnu Abbas dan Sabith
Al-Jumahi, mereka berkata, ‘Rasulullah bersabda, “Jika salah seorang
di antara kalian ditimpa musibah, hendaklah ia mengingat musibahnya itu
dengan (kematian) ku, karena (kematianku) itu adalah musibah
terbesar.”’ (H.R Ath-Thabrani, Ibnu Sa’d, Ad-Darimi, Malik dan lainnya, sebagaimana tercantum dalam Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah, hadis nomor 1106)
Husain bin Audah Al-Awayisah dalam Mushiibah Mautin Nabiy Wa Atsaaruhaa fiy Hayaah Al-Ummah menafsirkan
hadis tersebut dengan mengatakan bahwa dari hadis tersebut jelaslah
bagi kita kematian Nabi merupakan musibah terbesar yang telah menimpa
dan tetap akan menimpa kaum muslimin. Rasul sendiri memerintahkan kita
untuk mengingat musibah kematiannya sehingga dengan hal itu
musibah-musibah yang menimpa kita akan terasa ringan. Sebelumnya, masih
dalam tulisan yang sama Husain bin Audah Al-Awayisah berpendapat bahwa
wajib bagi kita untuk menadaburi dampak wafatnya Nabi terhadap pribadi dan umatnya.
Lalu bagaimana bisa Rabiul Awal diperingati dengan semarak dan suka
ria sedangkan musibah terbesar terjadi di bulan itu? Faktanya, berbagai
kegiatan yang diselenggarakan dalam rangka memperingati Maulid Nabi tak
lebih dari seremonial belaka. Beragam agenda terjadwal memeriahkan bulan
dan hari lahir penutup para Nabi dan Rasul itu telah kehilangan ruh dan
substansi peringatan itu sendiri. Padahal peringatan itu semestinya
dijadikan sebagai momentum untuk mengenang kembali sosok yang
diperingati. Ya, mengenal kembali sosok Muhammad, teladan sempurna
sepanjang zaman. Mengenang untuk kemudian mencontoh keagungan pribadinya
yang dipuji kawan dan diakui lawan. Karena itu sangat tidak pantas bila
tokoh seagung Muhammad dimaknai sebatas seremonial yang kering makna
dan agenda sekali setahun saja.
Di luar wacana memperingati dan merayakan Maulid Nabi atau berduka
atas wafatnya, sudah seharusnya kaum muslimin yang mengaku sebagai
pengikut Muhammad menggali sejarah kehidupannya, ajaran-ajaran luhurnya,
dan medakwahkan risalahnya. Sudahkah menamatkan membaca kitab kumpulan
hadis sahih yang dikumpulkan oleh Imam Bukhari dan Muslim sebagai dua
referensi terpercaya tentang peri kehidupan Nabi? Telahkah ditelusuri
segala sesuatu tentang Muhammad dalam kitab kitab hadis muktabar lainnya
seperti kitab sunan yang empat karya Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Nasa’i? Atau paling tidak pernahkah melahap dengan tuntas buku-buku sirah nabawiah mulai dari yang tebal dan detil hingga yang tipis dan ringan?
Allah berfirman, “Sungguh telah ada bagi kalian pada diri
Rasulullah suri teladan yang baik bagi orang yang berharap kepada Allah,
hari akhir, dan bagi orang yang banyak mengingat Allah.” (Q.S Al-Ahzab [33]: 21) Nabi bersabda, “Tidaklah
beriman seseorang di antara kalian sehingga aku lebih dicintainya
daripada anaknya, ayahnya (orang tua), dan manusia seluruhnya.” (H.R Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Sumber : http://www.facebook.com/notes/wahid-munfarid/12-rabiul-awal-lahir-atau-wafatnya-nabi/297703686946012 atau
http://harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=12409:12-rabiul-awallahir-atau-wafatnya-nabi&catid=11:opini&Itemid=83
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar